The Bitches VII
Dari bagian 6
Sementara itu kegatalanku di bawah sana, di kitorisku menjadi paduan
kenikmatan yang dahsyat melandaku. Bu Retno melihat perkembanganku dan
Surti hingga ikut terbawa arus. Nafsu birahinya juga ikut mengganas.
Dia menyambar dildo dua kepala yang rupanya telah dipersiapkan
sebelumnya. Diangkatnya kakiku hingga ke pundaknya. Pantatnya
digeserkan ke depan mendekat ke pantatku. Dimasukkannya salah satu
kepala dildo itu ke kemaluanku yang langsung melahapnya. Kemudian dia
masukkan kepala dildo sisi yang lain ke kemaluannya sendiri. Dalam
waktu yang sangat singkat, dia sudah mengayun-ayun dan memompa dildo
itu ke kemaluannya dan ke kemaluanku. Sungguh sangat sensasional.
Dua perempuan cantik itu kini sedang menggarap tubuhku. Dia atas
bangku taman yang tipis memanjang ini, Surti mengangkang dengan
nonoknya yang getas dan membasah dalam lumatan mulutku, sedangkan di
belakangnya, Bu Retno menggarapku dengan dildonya. Kini kami bertiga
berpacu bersama menapak puncak-puncak kepuasan kebetinaannya. Kini kami
bertiga sedang dipacu dan diburu gelombang dahsyat untuk meraih
orgasmenya. Kurasa taman alam pedesaan yang penuh bunga itu telah
berubah menjadi hutan yang dihuni serigala-sergala betina yang haus dan
lapar. Yang lolongannya memenuhi belantaranya hingga ke ujung-ujungnya.
Kegaduhan erotis dalam bentuk desahan, rintihan dan racauan liar
memenuhi hutan itu.
Rasa seperti ingin kencingku sudah kembali hadir kini. Aku yakin
aku sudah berada di ambang orgasmeku. Dan tak ayal lagi gerakan
bagian-bagian tubuh sensitifku membuas tak terkendali. Surti
memperketat jambakan tangannya pada rambutku. Dan Bu Retno mempercepat
ayunan dildonya ke memekku hingga aku tak kuasa lagi membendungnya.
Dengan jeritan yang membahana di taman hutan itu, kurasakan cairan
orgasmeku muncrat-muncrat. Kubenamkan lebih dalam kukuku ke paha Surti
untuk menahan kenikmatan dahsyatku. Kuangkat tinggi-tinggi pantatku
untuk menjemput dildo Bu Retno agar dapat lebih meruyak lagi ke dalam
vaginaku. Setelah itu segalanya kulepaskan. Aku terjatuh lunglai. Aku
merosot ke tanah di taman penuh bunga itu. Aku merasakan kelegaan yang
amat sangat setelah melewati badai nafsuku yang sempat melemparkanku
terombang-ambing dalam gairah birahi. Nafasku yang tersengal mencoba
menghirup udara sebanyak-banyaknya.
Aku merasakan tubuhku dibangunkan dan diangkat ke sofa di taman
itu. Aku disenderkan di tempat empuk di sana. Kakiku mereka rentangkan
terbuka. Aku dapat melihat dan merasakan bahwa Bu Retno langsung
kembali merangsek nonokku. Dia ingin meminum cairan orgasmeku.
Sementara kulihat Surti menjilati dildo dua kepala itu. Dia menjilati
cairanku dan juga cairan yang mulai membasah dari kemaluan Bu Retno.
Surti dan Bu Retno masih belum berhasil meraih orgasmenya. Dan kini
tubuhku sepenuhnya menjadi obyek pemuasan birahi mereka. Ada rasa
tersanjung yang menyelinap dalam relung hatiku. Bu Retno dan Surti
sangat menggilai diriku. Mereka sangat merindukan apapun yang keluar
dari tubuhku. Mereka akan melumatnya, meminum dan bahkan memakan apapun
yang keluar dari tubuhku. Mereka menatapku dengan nyalang dan dengan
penuh kehausan serta kerakusan birahi pada tubuhku.
Aku masih kelelahan akibat orgasmeku tadi. Aku yang kini telah
tersadar sepenuhnya mencoba mengingat-ingat, bagaimana caranya hingga
aku sempat terbius oleh minuman dari Bu Retno tadi. Rupanya begitu aku
terserang kantuk, mereka melucuti pakaianku hingga telanjang bulat. Dan
mereka juga melucuti pakaiannya sendiri. Kemudian mereka letakkan
tubuhku ke atas bangku tipis panjang itu. Mereka ingin agar seluruh
tubuhku terbuka. Tanganku yang jatuh terkulai membuka ketiak dan
dadaku. Kakiku yang terjuntai ke tanah membuka selangkanganku dan juga
membuat kemaluanku merekah terbuka lebar-lebar. Dengan cara begitu,
Surti dan Bu Retno benar-benar dapat menikmati pesona tubuhku secara
habis-habisan. Kembali perasaan tersanjung menyelip di dadaku hingga
terlontar senyum di bibirku. Aku sangat menikmati kekaguman dan
kegilaan mereka pada tubuhku.
Saat ini kulihat Bu Retno memegang dildo yang lain, memasukkannya
ke kemaluannya dan mengocok-ngocoknya sambil mulutnya terus melumat
kemaluanku. Sementara itu Surti masih menjilati dildo berkepala dua
yang baru saja kupakai bersama Bu Retno tadi. Rupanya cairan cintaku
masih banyak menempel pada dildo itu. Juga cairan birahi Bu Retno yang
mulai mengalir dari vaginanya masih nampak membasah pada ujung kepala
sisi yang lain dari dildo itu. Dan erangan dari mulutnya terus meracau
karena kocokan dildo yang lain lagi pada kemaluannya. Mereka berdua
kulihat sedang bermacu mengejar kepuasan tertingginya. Mereka ingin
meraih orgasmenya masing-masing. Dan ternyata tak lama kemudian, secara
hampir bersamaan, Surti dan Bu Retno berteriak histeris. Kulihat
tangan-tangan mereka dengan sangat cepat mengeluar-masukkan dildo ke
vaginanya masing-masing. Akhirnya mereka semua berhasil meraih
orgasmenya.
Kemudian hening, yang terdengar hanyalah nafas-nafas kelelahan dari
3 perempuan yang semuanya telanjang bulat di taman indah ini. Dan
ketiganya bermandi keringat setelah bekerja keras mengejar kenikmatan
nafsu birahinya. Sesuai dengan apa yang dikatakan Bu Retno, kini aku
merasa desakan ingin kencing. Aku bangun dari lantai dan bergerak
menuju toilet. Baru 2 atau 3 langkah aku beranjak, Bu Retno kembali
memanggilku.
"Sebentar Jeng. Mau kencing ya? Sini dulu. Duduk di sini".
Dia melambaikan tangannya dan menunjuk ke sofa agar aku duduk
kembali. Kutahan sebentar desakan ingin kencingku, mungkin ada hal
penting yang ingin disampaikannya padaku.
"Jeng Marini, kencing saja di sini. Aku pengin lihat nonok Jeng Marini saat mengeluarkan air seninya".
Edan, belum pernah terjadi ada orang yang ingin melihatku saat
buang air. Aku sendiri pasti akan malu setengah mati kalau saat sedang
melakukannya dilihat orang lain.
"Sini Jeng, nggak apa-apa kok. Ibu jamin deh, nggak usah malu",
katanya meyakinkanku hingga aku merasa kesulitan menolak permintaannya.
Mungkin itu merupakan salah satu unsur kepuasannya dalam menikmati
apapun yang keluar dari tubuhku, biarlah. Aku menurutinya untuk duduk.
Kemudian Bu Retno beranjak sebentar mengambil gelas kristal bening dari
meja toilet yang tampaknya telah disediakannya sebelumnya. Kemudian dia
berbalik mendekatiku dan membetulkan posisiku. Dia memintaku bersandar
ke sofa, dengan kakiku naik melipat ke dada hingga memekku "exposed"
tanpa hambatan.
"Udah Jeng, ayo kencing saja, biar aku sama Surti melihat dan menikmati saat Jeng Marini kencing".
Karena sudah sedemikian ngebetnya, tak ada yang mampu mencegahnya
lagi, dan kemudian mancurlah air seniku. Cairan bening
kekuning-kuningan mancur deras dari kemaluanku.
Ternyata Bu Retno dan Surti bukan sekedar melihatnya. Wajah mereka
dengan cepat bergerak ke depan menjemput kencingku dengan mulutnya
masing-masing yang menganga. air seniku langsung masuk ke mulut mereka.
Ke Surti kemudian berganti ke Bu Retno. Tubuh mereka juga bermandikan
air seniku. Dengan gelas kristalnya, Bu Retno juga menampung air seniku
yang tercecer. Mereka dengan rakusnya meminum air seniku. Dan aku
sungguh merasa heran, air seniku kali ini sedemikian deras dan
sedemikian banyaknya mancur keluar, sesuai dengan keterangan Bu Retno
tentang 'jamu' Amerika yang kuminum tadi.
Aku melihat sesuatu yang sangat sensasional. Dua perempuan cantik
yang sedang berebut meminum air seniku. Mereka demikian menunjukkan
gairahnya hingga saling berebut untuk menangkap pancuran air seniku
yang berwarna kekuning-kuningan yang baru saja keluar dari nonokku. Aku
melihat ekspresi kepuasan pada wajah-wajah mereka. Khususnya pada wajah
Bu Retno. Nampaknya seluruh skenario beliau dalam upaya menikmati
seluruh tubuhku tak ada yang tak terlaksana. Bu Retno secara khusus
menyampaikan terima kasihnya padaku. Dia cium bibirku dengan bibirnya
yang masih berbau pesing oleh air seniku sendiri.
Ditunjukkannya gelas kristal yang berisi air seniku. Nampak bening
dalam warna yang kekuningan. Seperti segelas bir yang baru keluar dari
botolnya. Nampak di permukaannya ada busa-busa yang menepi di dinding
gelas kristal itu.
"Jeng, ini adalah minuman termahalku. Ini adalah minuman sehatku. Aku akan berbagi dengan Surti untuk menghabiskannya".
Kemudian dia menenggaknya setengah dan sisanya diserahkan kepada
Surti yang juga menenggaknya dengan rakus hingga tetes-tetes
terakhirnya. Aku terpesona dengan apa yang baru saja kulihat di depan
mataku ini. Gairah erotis menjalari kudukku. Aku jadi haus dan jadi
sangat ingin melakukan hal yang sama seperti itu. Aku ingin pada suatu
saat nanti, aku berkesempatan meminum air seni Bu Retno dan Surti. Aku
memegang puting payudaraku. Kupelintir kecil untuk menyalurkan birahi
kecilku yang lewat selintas.
Kurasa 'pesta' ini telah selesai. Jam sudah menunjukkan pukul 3.24
sore. Saatnya menyiapkan diri untuk menyambut tamu ibu-ibu yang akan
arisan rutin pada pukul 4 sore ini. Dan kami bersepakat untuk mandi. Di
kamar mandi, aku masih membayangkan peristiwa terakhir tadi. Bu Retno
dan Surti yang nampak demikian menikmati air seniku. Ah, kapan
giliranku bisa melakukannya..?
*****
Beberapa waktu kemudian, Bu Retno dan Surti benar-benar membuktikan
padaku bahwa segala isu yang berkaitan dengan penyelewenganku
benar-benar berhasil mereka redam. Para serigala teman Mas Adit tak
seorangpun yang berani bersikap kurang ajar. Mereka menjadi sangat
menghormatiku, kendati aku tahu mereka tetap menyimpan kerinduannya
untuk kembali menyetubuhiku.
Sementara itu Mas Adit sendiri akhir-akhir ini telah banyak
berubah. Dia ternyata akhirnya mampu memberikan kepuasan di atas
ranjang bersamaku. Dia telah membuktikan dirinya sebagai orang yang
pintar. Akhirnya dia menyadari bahwa kepuasan seks itu tidak diukur
hanya secara fisik semata, karena jelas dia tak akan mampu memenuhi
kebutuhan fisik seperti itu. Tetapi sebagai orang yang cerdas dan
kreatif, dia telah banyak mengamati bahwa dengan semakin pintar dan
majunya seseorang, kekuatannya bukan lagi pada ukuran fisik. Begitu
juga dalam hubungan seksual.
Dia sudah sangat memahami apa makna kelembutan, perhatian,
pengertian, toleransi, fantasi, kreatifitas dan improvisasi dalam
berhubungan seksual. Mas Adit telah memahami bahwa seks adalah seni
yang harus di dekati dengan sikap berseni pula. Mulai dari ciuman,
rabaan, gigitan, elusan, desahan, rintihan, erangan, dengusan dan
bahkan sebaliknya sesekali kata-kata pujian yang seronok, kotor dan
jauh dari etika kesopanan sehari-hari, dapat menjadi sarana untuk
mencapai kepuasan seksual. Hebat, aku heran, belajar dari mana dia.
Bagaimanapun, aku sangat puas dan bahagia dengan perkembangan terakhir
ini.
TAMAT
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
2115